Kamis, 17 Maret 2011

Nuklir Jepang dan Bagaimana Rencana PLTN Indonesia

Nuklir Jepang
dan Bagaimana Rencana PLTN Indonesia

Kebakaran di PLTN Dai-ichi, prefektur Fukushima
Jepang dicekam horor. Gempa dahsyat 9,0 skala Richter yang disusul tsunami, Jumat 11 Maret 2011, tak hanya menghancurkan kota dan menewaskan ribuan orang, tapi juga memicu petaka lain, radiasi berbahaya dari nuklir
Dalam empat hari, tiga reaktor di instalasi Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Dai-ichi meledak. Sementara, unit reaktor keempat sempat terbakar hebat. Akibatnya sungguh mengerikan. Zat radioaktif kadar tinggi melalangbuana ke udara, bahkan hingga ratusan kilometer jauhnya. Sampai ke Tokyo.
Menurut kantor berita Kyodo, pasca ledakan hidrogen yang terjadi pada unit reaktor nomor dua, tingkat radiasi di sekitar lokasi mencapai 965,5 mikrosievert per jamnya. Puncaknya, radiasi mencapai hingga 8.217 mikrosievert per jam. Angka ini, jauh berkali lipat diatas batas radiasi normal yang bisa ditolerasi tubuh manusia.
Itu sebabnya, sekurang-kurangnya 170.000 warga dalam radius 20km dari lokasi reaktor pergi menjauh.  Perdana Menteri Jepang, Naoto Kan, menghimbau warga dalam radius lebih dari 30 km dari lokasi berdiam di rumah, memakai masker.
Di tengah situasi haru biru sesudah lindu dan tsunami, negeri matahari terbit ini berjibaku menaklukkan bencana ini. Sebanyak 50 pekerja reaktor nuklir bertaruh nyawa demi menjalankan tugas maha penting, mencegah meluasnya radiasi nuklir. Agar Negeri Sakura itu tidak menjadi Chernobyl kedua.
Dunia kini melihat Jepang. Juga bercermin. Guna melihat seberapa berbahaya teknologi nuklir dan bagaimana menaklukkannya. Sebab selain Jepang, begitu banyak negara yang juga mengunakan nuklir sebagai pembangkit tenaga listrik.
Pemerintah Jerman memilih menutup sejumlah PLTN yang sudah puluhan tahun beroperasi. Seperti dimuat harian The New York Times, Kanselir Jerman, Angela Merkel, Selasa waktu setempat mengumumkan, tujuh reaktor yang telah beroperasi sejak 1980 itu akan ditutup. Tim pemeriksa segera dibentuk untuk memastikan apakah reaktor itu harus ditutup permanen, atau masih bisa diperbaiki untuk menjamin agar tidak mengalami kebocoran radioaktif bila terkena bencana alam atau serangan teroris.
Kecemasan yang sama menular jauh hingga ke Amerika Latin. Presiden Venezuela, Hugo Chavez  yang terkenal berkeras hati juga takluk dengan kegelisahan rakyatnya.
Rencana pembangunan instalasi nuklir kerjasama dengan Rusia yang diteken 2010 lalu ditunda. “Apa yang terjadi dalam beberapa jam terakhir sangat berisiko dan berbahaya bagi seluruh dunia. Meski teknologi Jepang mutakhir, lihat apa yang terjadi dengan beberapa reaktor nuklirnya. Apalagi, magnitude masalah nuklir Jepang belum diketahu berapa luasnya,” kata Chavez, seperti dimuat Channel News Asia, 15 Februari 2011.
Kegelisahan juga sudah merasuki warga di Amerika Serikat. Meski terpisah ribuan kilometer, bencana nuklir Jepang membuat panik warga di sana. Seperti dimuat Daily Mail, Rabu 16 Maret 2011, warga AS berlomba-lomba memborong potassium iodide untuk melindungi diri dari efek negatif radiasi nuklir pada kelenjar tiroid, menyusul ‘skrenario terburuk’ yang dipaparkan para ahli – bahwa radiasi Fukushima sampai ke atmosfer dan bisa menyebar sampai AS.
Orang-orang yang tak kebagian potassium iodide dikabarkan menangis dan dilanda kecemasan.
Jepang memang dikenal sebagai negara dengan tradisi teknologi tinggi, memiliki banyak pakar nuklir  yang sering dipakai sejumlah negara. Itu sebabnya sejumlah negara, terutama negara dunia ketiga, berpikir seribu kali mengunakan nuklir sebagai pembangkit listrik.
Bagaimana dengan Indonesia? Badan Energi Atom Internasional (IAEA) menilai bahwa  negeri ini sudah memenuhi 13 syarat untuk membangun PLTN. Daerah yang paling memenuhi kriteria adalah Banten, Bangka Belitung, Kalimantan, dan Semenanjung Muria. Bahkan, pemerintah Rusia berkomitmen mendanai reaktor nuklir apabila pemerintah Indonesia berminat.
Pembangunan PLTN untuk mengatasi krisis energi nasional memang pernah ramai dibicarakan . Awalnya, pemerintah berencana membangun PLTN di Semenanjung Muria, Jawa Tengah. Namun hingga saat ini rencana tersebut tidak pernah terealisasi.

Pilihan terakhir.
Soal nasib pembangunan PLTN di Indonesia, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Hatta Rajasa memastikan bahwa nuklir adalah pilihan terakhir ketika cara lain sudah tak ada. "Saya hanya ingin sampaikan ada atau tidak ada gempa di Jepang, pemerintah Indonesia menempatkan nuklir  sebagai pilihan terakhir," kata Hatta usai Pembukaan Rapat Koordinasi Tim Pengendal Inflasi Daerah di Hotel Borobudur, Jakarta, Rabu, 16 Maret 2011.

Sebab, lanjut Hatta, negeri ini belum sepenuhnya memanfaatkan penggunaan energi alternatif untuk pembangkit listrik. Selain itu, pilihan untuk menggunakan energi campuran juga masih menjadi pilihan pemerintah untuk menambah daya listrik nasional.

"Kalau tidak ada energi lain, sepanjang kita punya energi alternatif, atau energi mix, PLTN itu letaknya dipilihan akhir. Dengan tidak menutup diri, tapi itu pilihan terakhir," katanya.

Untuk mendorong penambahan daya listrik nasional, pemerintah mengaku akan mempercepat penyediaan gas, diantaranya dengan membangun LNG Receiving Terminal. Meski jika memilih cara ini biayanya cukup tinggi.

Soal biaya itulah yang menjadi pemikat si nuklir ini. Ahli Nuklir ITB, Prof. Dr. Zaki Su'ud menjelaskan bahwa PLTN penting jika sebuah negara mau menerapkan energi alternatif yang murah. Harga listrik yang dihasilkan dari PLTN hanya Rp200 per Kwh, jauh jika dibandingkan dengan harga listrik yang berasal dari pembangkit batu bara yang mencapai Rp670 per Kwh. Ia mencontohkan bagaimana China mensuport industrinya dengan membangun sekitar 140 reaktor, sehingga listrik di China bisa murah.
Jika Indonesia hendak membangun PLTN, ia menyarankan menggunakan standar keamanan tertinggi. Potensi rata-rata gempa bumi yang terjadi di Indonesia sekitar 7,0 Skala Rickher, karena itu pembangunan pembangkit nuklir mampu menahan gempa hingga 8,5 SR. Memang ada biaya yang harus dibayar lebih, namun tak seberapa bila dibandingkan dengan keamanan dan keselamatan manusia.

"Indonesia harus belajar dari kasus Chernobyl dan Three Mile Island di mana pernah terjadi kasus kebocoran radioaktif. Desain PLTN harus direkayasa kuat untuk mengantisipasi hal terburuk," jelasnya.

Sementara itu pakar Geodesi Institut Teknologi Bandung, Dr Irwan Mailano menjelaskan seluruh wilayah Jepang berada dalam zona gempa, namun 40 persen listrik di Jepang disuplai dari PLTN. "Prinsip membangun nuklir harus merekayasa desain agar PLTN menyesuaikan dengan kondisi gempa," kata dia.

Batalkan Rencana Itu
Belajar dari kasus Jepang, pakar fisika nuklir dari Tsukuba Jepang, Iwan Kurniawan menilai, rencana pembangunan PLTN di Indonesia harus segera dibatalkan. Indonesia dinilai belum siap untuk menangani masalah jika terjadi kebocoran nuklir.

"Kita nggak sanggup. Bencana di Aceh [tsunami] dan Yogyakarta [letusan Gunung Merapi] saja tidak sanggup ditangani. Itu debunya, wedhus gembel, kelihatan. Kalau nuklir tidak terlihat," ujar Iwan dalam diskusi bertajuk 'Gerakan Anti PLTN di Indonesia' di Jakarta, Rabu 16 Maret 2011.
Dari sisi teknologi, Iwan menegaskan, Jepang sangat jauh berada di atas Indonesia. Namun, saat menghadapi masalah kehancuran PLTN-nya saat ini, Jepang kewalahan. Apalagi Indonesia, yang menurut Iwan, tidak menguasai teknologi, khususnya nuklir. "Pengalaman kita adalah membeli. Jangan harap bisa menguasai teknologinya jika terus membeli. Indonesia tidak pernah mengembangkan teknologi apapun, tidak melakukan riset, maunya beli," tuturnya.
Jika didasari untuk pembangkit tenaga listrik, Iwan menyatakan, pemerintah harus lebih kreatif lagi untuk mencari sumber daya lain pengganti minyak. Menurutnya, bio diesel dan bio fuel sangat tepat dijadikan sumber energi listrik, ketimbang bertaruh nyawa untuk nuklir.

"Bio diesel suatu hari nanti kita akan seperti Arab Saudi. Bio disel yang dari kelapa sawit. Nanti pada saatnya kelapa sawit akan jadi primadona. Seluruh dunia akan bergantung pada kita," tuturnya.

Senada, aktivis Greenpeace, Nurhidayati menyatakan, banyak yang memuji standar keselamatan, kedisiplinan dan kesiagaan bencana Jepang. Juga teknologinya. Itu saja masih kebobolan. "Bagaimana masyarakat bisa yakin bahwa, apa yang diterapkan Indonesia akan lebih baik atau setidaknya pada tingkatan penanggulangan yang sama?" katanya.
Dalam diskusi itu juga, sejumlah lembaga swadaya masyarakat menyampaikan surat terbuka kepada Presiden SBY dan sejumlah kepala negara lain di Asia Tenggara.
Dalam surat terbuka yang dibacakan Nurhidayati itu, mereka meminta Presiden SBY untuk mengumumkan penghentian rencana pembangunan reaktor PLTN dan mengalihkan investasi untuk pengembangan sumber-sumber energi lain yang terjangkau dan ramah lingkungan. VIVAnews

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Post